Jumat, 22 Februari 2013

Kekekalan Akhirat Dalam Perspektif Teologi

Konsepsi tentang akhirat masih banyak menimbulkan kontroversi, terutama tentang kekekalannya. Seluruh ulama sepakat bahwa akhirat itu ada, akan tetapi mereka belum sependapat bahwa akhirat itu kekal ataukah akan berakhir sebagaimana halnya dunia.

Agus Mustofa dalam bukunya yang berjudul Ternyata Akhirat Tidak Kekal menyimpulkan bahwa akhirat tidaklah kekal. Kesimpulannya ini antara lain didasarkan kepada QS. Hud: 106-108.

106. Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih). 107. Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menhendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. 108. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya. 

            Menurutnya kekekalan mereka yang berbahagia di surga maupun yang celaka di neraka bergantung pada kondisi yang lainnya, yaitu  keberadaan langit dan bumi (alam semesta). Dengan kata lain, paparannya, akhirat itu akan kekal jika langit dan bumi atau alam semesta ini juga kekal. Apabila suatu ketika alam semesta ini mengalami kehancuran, maka alam akhirat juga akan mengalami hal yang sama, kehancuran. Pendapatnya ini diperkuat dengan kutipan QS. Al Qashash: 88.

Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan yang lain. Tidak ada tuhan melainkan Dia. Tiap.tiap seuatu pasti binasa, kecuali Allah. Baginyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.

            Selain Agus Mustofa, ada juga yang berpendapat demikian (bahwa akhirat tidak kekal), yakni Jahm bin Shafwan. Dia adalah imam dari golongan Mu’athilah Al Jahmiyah (aliran yang menafikan sifat Allah).

            Pendapat berikutnya, pendapat yang menyatakan bahwa akhirat itu kekal, diantaranya:

            Abu Al Huzail, seorang tokoh muktazilah, berpendapat bahwa gerak-gerik penghuni surga dan neraka itu akan berhenti dan berakhir dengan ketenangan abadi. Dalam ketenangan abadi itu berkumpul semua kelezatan bagi ahli surga dan kesengsaraan bagi ahli neraka. Oleh karena itu, dalam menanggapi khuludnya ahli surga dan ahli neraka seperti yang ditegaskan dalam al qur’an, Abu Al Huzail yang menolak keabadian gerak, berkesimpulan bahwa khuludnya ahli surga dan neraka itu adalah dalam keadaan tanpa gerak.

            Sementara itu, dalam pandangan syi’ah, akhirat adalah kehidupan rohani. Mereka beranggapan bahwa tubuh dan roh merupakan dua realitas yang berbeda. Tubuh akan kehilangan ciri-ciri kehidupan karena kematian dan perlahan-lahan mengalami kehancuran. Tidak demikian halnya dengan roh, karena kehidupan pada asal dan hakikatnya adalah milik roh. Apabila roh bergabung dengan tubuh, tubuhpun memperoleh kehidupan. Namun jika roh memisahkan diri dan memutuskan hubungannya dengan tubuh (peristiwa yang disebut kematian), tubuhpun berhenti berfungsi, sedangkan roh melanjutkan kehidupannya. Dengan demikian roh itu akan terus hidup hingga di kehidupan akhirat.

            Mengenai kehidupan akhirat yang berbeda dengan kehidupan dunia, Murtadha Muthahhari, salah seorang ulama Syi’ah, mengungkapkan adanya beberapa perbedaan yang sangat prinsipil, diantaranya:

1.    Kekonstanan dan perubahan.
Di dalam dunia ini, ada gerakan dan perubahan. Seorang bayi bergerak dan berubah menjadi remaja, kemudian paruh baya, tua dan akhirnya mati. Di alam ini, yang baru akan menjadi lapuk, dan yang lapuk akan hancur. Sedangkan di alam akhirat tidak ada ketuaan, kelapukan dan kehancuran. Alam akhirat adalah kekal (baqa), sedangkan alam dunia adalah sirna (fana). Alam akhirat konstan dan tidak berubah, sedangkan alam dunia senantiasa berubah, bergerak dan alam ketidaktetapan.

2.    Kehidupan murni dan kehidupan yang tercemari kematian.
Di dunia ini berbaur menjadi satu antara kehidupan dengan kematian, sedangkan akhirat adalah alam yang semata-mata diisi oleh kehidupan. Di dunia terdapat benda-benda mati dan tetumbuhan, dan masing-masingnya saling berganti satu dengan lain. Misalnya, tubuh kita yang hidup sekarang, pada waktu tertentu sebelum ini adalah benda mati. Kemudian dari tubuh tersebut, kehidupan berpisah, untuk menjadi benda mati lagi. Dengan begitu, di alam ini kehidupan berjalin-berkelindan dengan kematian.
Sedangkan di akhirat, semua pembauran seperti itu tidak ditemukan. Di alam akhirat semuanya hidup, dan akan selalu diisi dengan kehidupan. Ini berdasarkan QS. Al Ankabut ayat 64:
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.

Oleh karenya, kehidupan akhirat benar-benar merupakan kehidupan murni dan tidak bercampur dengan kematian. Kehidupan akhirat tidak mengalami proses penuaan, kerusakan, kematian dan kehancuran, melainkan keabadian dan kekekalan belaka. 
            Selanjutnya, Sayid Sabiq dalam bukunya Aqidah Islam; Pola Hidup Manusia Beriman (1990), menyatakan bahwa surga itu kekal dan tidak pernah rusak, demikan pula neraka. Sayid juga menyatakan bahwa para penghuni masing-masing tempat itu, yakni surga dan neraka juga kekal. Mereka tidak didatangi oleh kematian dan tidak pula dihinggapi oleh kebinasaan dan kerusakan. Dalam hal ini Sayid mengutip QS. Hud: 103-108.

103. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat. Hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi) nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk). 104. Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu. 105. Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. 106. Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih), 107. mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. 108. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.

            Kata selama ada langit dan bumi dari ayat di atas, dalam al qur’an dan terjemahnya, Departemen Agama RI (1989) dijelaskan bahwa maksudnya adalah kata kiasan, yakni sebagai ungkapan yang menjelaskan kekalnya mereka dalam neraka atau surga selama-lamanya. Ibnu Jarir Ath Thobari dalam hal ini mengatakan bahwa, Orang Arab biasanya jika ingin mensifatkan sesuatu itu kekal selamanya, maka mereka akan mengungkapkan dengan, “Ini kekal selama langit dan  bumi ada.” Namun maksud ungkapan ini adalah kekal selamanya.


Referensi:
1. Qur'an terjemah
2. A.Mustofa Bisri, Koridor Renungan A. Mustofa Bisri, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010
3. Ahmad Taufiq, Negeri Akhirat (konsep eskatologi Nuruddin Ar-Raniri, PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo, Cet I, 2003
4. Keadilan Ilahi: asas pandangan dunia Islam karya Murtadha Muthahhari yang diterjemahkan oleh Muhammad ‘Abdul Mun’im Al Khaqani, terbitan Al Dar Al Islamiyyah li Al Nasyr, Qum, 140 H/1981. Hak penerjemah bahasa Indonesia pada penerbit Mizan (PT Mizan Pustaka), Bandung Edisi baru cetakan II, 2009
5. Wawan Susetya, Jika Surga Neraka (tak pernah) Ada, Republik...
6. Muhammad Abduh Tuasikal, Menyanggah Buku Ternyata Akhirat Tidak Kekal, http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2900-menyanggah-buku-ternyata-akhirat-tidak-kekal.html, diakses 06 Februari 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar