Konsepsi
tentang akhirat masih banyak menimbulkan kontroversi, terutama tentang
kekekalannya. Seluruh ulama sepakat bahwa akhirat itu ada, akan tetapi mereka
belum sependapat bahwa akhirat itu kekal ataukah akan berakhir sebagaimana
halnya dunia.
Agus
Mustofa dalam bukunya yang berjudul Ternyata
Akhirat Tidak Kekal menyimpulkan bahwa akhirat tidaklah kekal.
Kesimpulannya ini antara lain didasarkan kepada QS. Hud: 106-108.
106.
Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya
mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih). 107. Mereka kekal di
dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menhendaki (yang
lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.
108. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka
kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki
(yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.
Menurutnya kekekalan mereka yang berbahagia di surga
maupun yang celaka di neraka bergantung pada kondisi yang lainnya, yaitu keberadaan langit dan bumi (alam semesta).
Dengan kata lain, paparannya, akhirat itu akan kekal jika langit dan bumi atau
alam semesta ini juga kekal. Apabila suatu ketika alam semesta ini mengalami
kehancuran, maka alam akhirat juga akan mengalami hal yang sama, kehancuran.
Pendapatnya ini diperkuat dengan kutipan QS. Al Qashash: 88.
Janganlah
kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan yang lain. Tidak ada tuhan
melainkan Dia. Tiap.tiap seuatu pasti binasa, kecuali Allah. Baginyalah segala
penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
Selain
Agus Mustofa, ada juga yang berpendapat demikian (bahwa akhirat tidak kekal),
yakni Jahm bin Shafwan. Dia adalah imam dari golongan Mu’athilah Al Jahmiyah
(aliran yang menafikan sifat Allah).
Pendapat berikutnya, pendapat yang menyatakan bahwa akhirat
itu kekal, diantaranya:
Abu Al Huzail, seorang tokoh muktazilah, berpendapat
bahwa gerak-gerik penghuni surga dan neraka itu akan berhenti dan berakhir
dengan ketenangan abadi. Dalam ketenangan abadi itu berkumpul semua kelezatan
bagi ahli surga dan kesengsaraan bagi ahli neraka. Oleh karena itu, dalam
menanggapi khuludnya ahli surga dan
ahli neraka seperti yang ditegaskan dalam al qur’an, Abu Al Huzail yang menolak
keabadian gerak, berkesimpulan bahwa khuludnya
ahli surga dan neraka itu adalah dalam keadaan tanpa gerak.
Sementara itu, dalam pandangan syi’ah, akhirat adalah
kehidupan rohani. Mereka beranggapan bahwa tubuh dan roh merupakan dua realitas
yang berbeda. Tubuh akan kehilangan ciri-ciri kehidupan karena kematian dan
perlahan-lahan mengalami kehancuran. Tidak demikian halnya dengan roh, karena
kehidupan pada asal dan hakikatnya adalah milik roh. Apabila roh bergabung
dengan tubuh, tubuhpun memperoleh kehidupan. Namun jika roh memisahkan diri dan
memutuskan hubungannya dengan tubuh (peristiwa yang disebut kematian), tubuhpun
berhenti berfungsi, sedangkan roh melanjutkan kehidupannya. Dengan demikian roh
itu akan terus hidup hingga di kehidupan akhirat.
Mengenai kehidupan akhirat yang berbeda dengan kehidupan
dunia, Murtadha Muthahhari, salah seorang ulama Syi’ah, mengungkapkan adanya
beberapa perbedaan yang sangat prinsipil, diantaranya:
1. Kekonstanan
dan perubahan.
Di dalam dunia ini, ada gerakan dan
perubahan. Seorang bayi bergerak dan berubah menjadi remaja, kemudian paruh
baya, tua dan akhirnya mati. Di alam ini, yang baru akan menjadi lapuk, dan
yang lapuk akan hancur. Sedangkan di alam akhirat tidak ada ketuaan, kelapukan
dan kehancuran. Alam akhirat adalah kekal (baqa), sedangkan alam dunia adalah
sirna (fana). Alam akhirat konstan dan tidak berubah, sedangkan alam dunia
senantiasa berubah, bergerak dan alam ketidaktetapan.
2. Kehidupan
murni dan kehidupan yang tercemari kematian.
Di dunia ini berbaur menjadi satu antara
kehidupan dengan kematian, sedangkan akhirat adalah alam yang semata-mata diisi
oleh kehidupan. Di dunia terdapat benda-benda mati dan tetumbuhan, dan
masing-masingnya saling berganti satu dengan lain. Misalnya, tubuh kita yang
hidup sekarang, pada waktu tertentu sebelum ini adalah benda mati. Kemudian
dari tubuh tersebut, kehidupan berpisah, untuk menjadi benda mati lagi. Dengan
begitu, di alam ini kehidupan berjalin-berkelindan dengan kematian.
Sedangkan di akhirat, semua pembauran
seperti itu tidak ditemukan. Di alam akhirat semuanya hidup, dan akan selalu
diisi dengan kehidupan. Ini berdasarkan QS. Al Ankabut ayat 64:
Dan
tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan
sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.
Oleh karenya, kehidupan
akhirat benar-benar merupakan kehidupan murni dan tidak bercampur dengan
kematian. Kehidupan akhirat tidak mengalami proses penuaan, kerusakan, kematian
dan kehancuran, melainkan keabadian dan kekekalan belaka.
Selanjutnya,
Sayid Sabiq dalam bukunya Aqidah Islam;
Pola Hidup Manusia Beriman (1990), menyatakan bahwa surga itu kekal dan
tidak pernah rusak, demikan pula neraka. Sayid juga menyatakan bahwa para
penghuni masing-masing tempat itu, yakni surga dan neraka juga kekal. Mereka
tidak didatangi oleh kematian dan tidak pula dihinggapi oleh kebinasaan dan
kerusakan. Dalam hal ini Sayid mengutip
QS. Hud: 103-108.
103. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran
bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat. Hari kiamat itu adalah suatu
hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi) nya, dan hari itu adalah
suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk). 104. Dan Kami tiadalah mengundurkannya,
melainkan sampai waktu yang tertentu. 105. Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang berbicara,
melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang
berbahagia. 106.
Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya
mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih), 107. mereka kekal di
dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang
lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. 108.
Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam syurga,
mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu
menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.
Kata
selama ada langit dan bumi dari ayat di atas, dalam al qur’an dan terjemahnya,
Departemen Agama RI (1989) dijelaskan bahwa maksudnya adalah kata kiasan, yakni
sebagai ungkapan yang menjelaskan kekalnya mereka dalam neraka atau surga
selama-lamanya. Ibnu
Jarir Ath Thobari dalam hal ini mengatakan bahwa, Orang Arab biasanya jika
ingin mensifatkan sesuatu itu kekal selamanya, maka mereka akan mengungkapkan
dengan, “Ini kekal selama langit dan bumi ada.” Namun maksud ungkapan ini
adalah kekal selamanya.
Referensi:
1. Qur'an terjemah
2. A.Mustofa Bisri,
Koridor Renungan A. Mustofa Bisri, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010
3. Ahmad Taufiq, Negeri Akhirat (konsep eskatologi Nuruddin Ar-Raniri,
PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo, Cet I, 2003
4. Keadilan Ilahi: asas pandangan dunia Islam karya Murtadha Muthahhari
yang diterjemahkan oleh Muhammad ‘Abdul Mun’im Al Khaqani, terbitan Al Dar Al
Islamiyyah li Al Nasyr, Qum, 140 H/1981. Hak penerjemah bahasa Indonesia pada
penerbit Mizan (PT Mizan Pustaka), Bandung Edisi baru cetakan II, 2009
5. Wawan Susetya, Jika Surga
Neraka (tak pernah) Ada, Republik...
6. Muhammad Abduh Tuasikal, Menyanggah Buku Ternyata Akhirat Tidak Kekal, http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2900-menyanggah-buku-ternyata-akhirat-tidak-kekal.html, diakses 06 Februari 2010
6. Muhammad Abduh Tuasikal, Menyanggah Buku Ternyata Akhirat Tidak Kekal, http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2900-menyanggah-buku-ternyata-akhirat-tidak-kekal.html, diakses 06 Februari 2010