Jumat, 22 Februari 2013

Kekekalan Akhirat Dalam Perspektif Teologi

Konsepsi tentang akhirat masih banyak menimbulkan kontroversi, terutama tentang kekekalannya. Seluruh ulama sepakat bahwa akhirat itu ada, akan tetapi mereka belum sependapat bahwa akhirat itu kekal ataukah akan berakhir sebagaimana halnya dunia.

Agus Mustofa dalam bukunya yang berjudul Ternyata Akhirat Tidak Kekal menyimpulkan bahwa akhirat tidaklah kekal. Kesimpulannya ini antara lain didasarkan kepada QS. Hud: 106-108.

106. Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih). 107. Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menhendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. 108. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya. 

            Menurutnya kekekalan mereka yang berbahagia di surga maupun yang celaka di neraka bergantung pada kondisi yang lainnya, yaitu  keberadaan langit dan bumi (alam semesta). Dengan kata lain, paparannya, akhirat itu akan kekal jika langit dan bumi atau alam semesta ini juga kekal. Apabila suatu ketika alam semesta ini mengalami kehancuran, maka alam akhirat juga akan mengalami hal yang sama, kehancuran. Pendapatnya ini diperkuat dengan kutipan QS. Al Qashash: 88.

Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan yang lain. Tidak ada tuhan melainkan Dia. Tiap.tiap seuatu pasti binasa, kecuali Allah. Baginyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.

            Selain Agus Mustofa, ada juga yang berpendapat demikian (bahwa akhirat tidak kekal), yakni Jahm bin Shafwan. Dia adalah imam dari golongan Mu’athilah Al Jahmiyah (aliran yang menafikan sifat Allah).

            Pendapat berikutnya, pendapat yang menyatakan bahwa akhirat itu kekal, diantaranya:

            Abu Al Huzail, seorang tokoh muktazilah, berpendapat bahwa gerak-gerik penghuni surga dan neraka itu akan berhenti dan berakhir dengan ketenangan abadi. Dalam ketenangan abadi itu berkumpul semua kelezatan bagi ahli surga dan kesengsaraan bagi ahli neraka. Oleh karena itu, dalam menanggapi khuludnya ahli surga dan ahli neraka seperti yang ditegaskan dalam al qur’an, Abu Al Huzail yang menolak keabadian gerak, berkesimpulan bahwa khuludnya ahli surga dan neraka itu adalah dalam keadaan tanpa gerak.

            Sementara itu, dalam pandangan syi’ah, akhirat adalah kehidupan rohani. Mereka beranggapan bahwa tubuh dan roh merupakan dua realitas yang berbeda. Tubuh akan kehilangan ciri-ciri kehidupan karena kematian dan perlahan-lahan mengalami kehancuran. Tidak demikian halnya dengan roh, karena kehidupan pada asal dan hakikatnya adalah milik roh. Apabila roh bergabung dengan tubuh, tubuhpun memperoleh kehidupan. Namun jika roh memisahkan diri dan memutuskan hubungannya dengan tubuh (peristiwa yang disebut kematian), tubuhpun berhenti berfungsi, sedangkan roh melanjutkan kehidupannya. Dengan demikian roh itu akan terus hidup hingga di kehidupan akhirat.

            Mengenai kehidupan akhirat yang berbeda dengan kehidupan dunia, Murtadha Muthahhari, salah seorang ulama Syi’ah, mengungkapkan adanya beberapa perbedaan yang sangat prinsipil, diantaranya:

1.    Kekonstanan dan perubahan.
Di dalam dunia ini, ada gerakan dan perubahan. Seorang bayi bergerak dan berubah menjadi remaja, kemudian paruh baya, tua dan akhirnya mati. Di alam ini, yang baru akan menjadi lapuk, dan yang lapuk akan hancur. Sedangkan di alam akhirat tidak ada ketuaan, kelapukan dan kehancuran. Alam akhirat adalah kekal (baqa), sedangkan alam dunia adalah sirna (fana). Alam akhirat konstan dan tidak berubah, sedangkan alam dunia senantiasa berubah, bergerak dan alam ketidaktetapan.

2.    Kehidupan murni dan kehidupan yang tercemari kematian.
Di dunia ini berbaur menjadi satu antara kehidupan dengan kematian, sedangkan akhirat adalah alam yang semata-mata diisi oleh kehidupan. Di dunia terdapat benda-benda mati dan tetumbuhan, dan masing-masingnya saling berganti satu dengan lain. Misalnya, tubuh kita yang hidup sekarang, pada waktu tertentu sebelum ini adalah benda mati. Kemudian dari tubuh tersebut, kehidupan berpisah, untuk menjadi benda mati lagi. Dengan begitu, di alam ini kehidupan berjalin-berkelindan dengan kematian.
Sedangkan di akhirat, semua pembauran seperti itu tidak ditemukan. Di alam akhirat semuanya hidup, dan akan selalu diisi dengan kehidupan. Ini berdasarkan QS. Al Ankabut ayat 64:
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.

Oleh karenya, kehidupan akhirat benar-benar merupakan kehidupan murni dan tidak bercampur dengan kematian. Kehidupan akhirat tidak mengalami proses penuaan, kerusakan, kematian dan kehancuran, melainkan keabadian dan kekekalan belaka. 
            Selanjutnya, Sayid Sabiq dalam bukunya Aqidah Islam; Pola Hidup Manusia Beriman (1990), menyatakan bahwa surga itu kekal dan tidak pernah rusak, demikan pula neraka. Sayid juga menyatakan bahwa para penghuni masing-masing tempat itu, yakni surga dan neraka juga kekal. Mereka tidak didatangi oleh kematian dan tidak pula dihinggapi oleh kebinasaan dan kerusakan. Dalam hal ini Sayid mengutip QS. Hud: 103-108.

103. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat. Hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi) nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk). 104. Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu. 105. Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. 106. Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih), 107. mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. 108. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.

            Kata selama ada langit dan bumi dari ayat di atas, dalam al qur’an dan terjemahnya, Departemen Agama RI (1989) dijelaskan bahwa maksudnya adalah kata kiasan, yakni sebagai ungkapan yang menjelaskan kekalnya mereka dalam neraka atau surga selama-lamanya. Ibnu Jarir Ath Thobari dalam hal ini mengatakan bahwa, Orang Arab biasanya jika ingin mensifatkan sesuatu itu kekal selamanya, maka mereka akan mengungkapkan dengan, “Ini kekal selama langit dan  bumi ada.” Namun maksud ungkapan ini adalah kekal selamanya.


Referensi:
1. Qur'an terjemah
2. A.Mustofa Bisri, Koridor Renungan A. Mustofa Bisri, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010
3. Ahmad Taufiq, Negeri Akhirat (konsep eskatologi Nuruddin Ar-Raniri, PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo, Cet I, 2003
4. Keadilan Ilahi: asas pandangan dunia Islam karya Murtadha Muthahhari yang diterjemahkan oleh Muhammad ‘Abdul Mun’im Al Khaqani, terbitan Al Dar Al Islamiyyah li Al Nasyr, Qum, 140 H/1981. Hak penerjemah bahasa Indonesia pada penerbit Mizan (PT Mizan Pustaka), Bandung Edisi baru cetakan II, 2009
5. Wawan Susetya, Jika Surga Neraka (tak pernah) Ada, Republik...
6. Muhammad Abduh Tuasikal, Menyanggah Buku Ternyata Akhirat Tidak Kekal, http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2900-menyanggah-buku-ternyata-akhirat-tidak-kekal.html, diakses 06 Februari 2010


Minggu, 05 Agustus 2012

Tauhid Dalam Ibadah Menurut Pandangan Al-Qur'an

Menyembah Tuhan yang Esa merupakan dasar seluruh dakwah para Nabi pada setiap masa, yaitu semua orang harus menyembah Tuhan yang Esa dan meninggalkan peribadatan kepada sesuatu yang lain.

Perintah samawi yang paling mendasar adalah menyembah Tuhan yang Esa dan melepaskan sikap mendua dalam ibadah. Inilah yang menjadi program awal seluruh utusan Allah yang telah dibangkitkan untuk memerangi segala macam syirik, khususnya dalam ibadah.

Al-Quran al-Majid menyebut kebenaran ini dengan jelas, dengan firman-Nya:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut (sesembahan selain Allah). [Surat An-Nahl, ayat 36]

“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah Aku. [Surat Al-Anbiya’, ayat 25]

Al-Quran juga menyebut ibadah kepada Tuhan yang Maha Esa sebagai pokok kebersamaan antara semua syariat samawi, seperti dalam firman-Nya:

“Katakanlah: ‘Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu apapun …” [Surat Ali Imran, ayat 64]

Tauhid dalam ibadah merupakan landasan yang kukuh dan diterima. Tidak seorang-pun di kalangan kaum Muslimin yang menentangnya. Meskipun kelompok Mu’tazilah berbeda pendapat tentang tauhid dalam sifat, dan kelompok “Asyari berselisih tentang tauhid dalam af’al (perbuatan) namun semuanya bersatu dalam, masalah tauhid dalam ibadah.

Oleh sebab itu, tidak seorang Muslim pun yang berhak mengingkarinya. Kalaupun sebagian dari kaum Muslimin ada yang menganggap perbuatan-perbuatan tertentu sebagai ibadah, sedangkan yang lain menganggapnya sekadar sebagai penghormatan dan pengagungan, itu hanya merupakan perselisihan pada premis kecil, bukan premis besar. Orang berbeda pendapat tentang apakah perbuatan ini termasuk ibadah atau tidak, bukan berbeda pendapat dalam menyatakan bahwa semua ibadah kepada selain Allah adalah syirik dan haram. Maka, terlebih dahulu kita harus menjelaskan arti ibadah menurut bahasa dan Al-Quran, sesudah itu baru menjelaskan duduk masalah yang kita bahas.


Definisl Ibadah

Kata “ibadah”, sebagaimana kata “penyembahan”, mempunyai pengertian yang jelas meski kita tidak mampu mendefinisikannya dalam bentuk kalimat, mengikuti kaidah-kaidah ilmu logika. Meskipun kata langit dan bumi bagi kita pengertiannya sangat jelas dan terang, namun banyak di antara kita yang tidak mampu mendefinisikannya atau menerangkannya dengan sempurna. Namun hal itu tidak menghalangi untuk melukiskan arti yang jelas di benak kita apabila mendengar kedua kata tersebut.

“Ibadah” dan “penyembahan”, sebagaimana halnya kata langit dan bumi, keduanya dapat kita pahami, meskipun kita tidak sanggup menuangkannya dalam bentuk definisi yang logis. Begitu pula, mudah bagi kita untuk memisahkan substansi ibadah dari pengagungan dan penyembahan, dari sekadar penghormatan.

Seorang yang dimabuk cinta yang menciumi pintu dan dinding rumah kekasihnya, atau mengusap-usapkan pakaiannya kedada, tidak akan disebut sebagai penyembah kekasihnya oleh kaum manapun juga. Dan orang-orang bepergian untuk melihat tubuh para pemimpin dunia yang telah di-mumi-kan, atau orang yang terdorong oleh rasa cinta, pergi melihat peninggalan dan bekas tempat tinggal pemimpin mereka, kemudian, sebagai penghormatan, mereka mengadakan upacara tertentu atau mengheningkan cipta sejenak, mereka itu tetap tidak dianggap sebagai telah beribadah, meskipun rasa tunduk dan perwujudan rasa cinta mereka setingkat dengan tunduk dan khusyuk-nya para penyembah Tuhan yang Esa di hadapan Tuhan mereka. Hanya naluri yang sadarlah yang dapat membedakan penghormatan dan pengagungan dari ibadah dan penyembahan.

Apabila kita harus mendefinisikan ibadah secara logis dan menganalisanya, maka dapat kita defisikan dalam tiga bentuk yang semuanya merujuk kepada satu tujuan. Tapi, sebelumnya kami akan menyebutkan dua definisi yang kurang sempurna, yang oleh kaum Wahabi dijadikan sebagai landasan mereka.


Dua Definisi Ibadah yang Kurang Sempurna


A. Ibadah Ialah Tunduk dan merendahkan diri.

Dalam buku-buku bahasa, kata “ibadah” diartikan dengan “tunduk” dan “merendahkan diri” [1] Interpretasi dari ahli bahasa itu tidak dapat menerangkan arti ibadah dengan benar, terperinci dan sempurna, karena;

1. Jika tunduk dan merendahkan diri merupakan persamaan dari kata ibadah, maka tidak akan ada kartu pengenal “Tauhid” bagi siapapun, sebagaimana tidak akan ada muwahhid, sebab seiring dengan fitrah, manusia akan tunduk dan merendahkan diri di hadapan kesempurnaan baik material maupun spiritual orang yang lebih tinggi dan lebih mulia, seperti seorang murid di hadapan gurunya, seorang anak di hadapan ayah dan ibunya dan orang yang dimabuk cinta dihadapan kekasihnya.

2. Al-Quran memerintahkan anak-anak untuk merendahkan diri di hadapan kedua orang tuanya dengan firman-Nya:

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua (ibu-bapak) dengan penuh kesayangan, dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah kedua-nya sebagaimana keduanya telah mendidik aku sewaktu kecil! [surat al-Isra’, ayat: 24]

Jika tunduk dan merendahkan diri menjadi tanda penyembahan kepada pihak lain, maka kita harus, menganggap musyrik seorang anak yang taat, dan menyatakan anak yang durhaka sebagai anak yang muwahhid.


B. Ibadah ialah: Ketundukan yang tak terbatas.

Sebagian mufassir, ketika ingin menambah kekurangan penafsiran yang diberikan oleh pars ahli bahasa, mereka menafsirkan ibadah dengan ketundukan yang tak terbatas dalam merasakan kesempurnaan dan keagungan.

Namun penafsiran yang demikian tidak berbeda dengan yang pertama, karena Allah sendiri telah memerintahkan Malaikat bersujud kepada Adam, seperti dalam firman-Nya:

“Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para Malaikat: ‘Sujudlah kamu-kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis – - – ” [Surat al-Baqarah, ayat: 34]

Salah satu substansi dari pengertian tunduk dan merendahkan diri tanpa batas tentunya ialah : sujud kepada yang wujud. Apabila yang demikian dianggap sebagai ibadah, maka musyrik-lah para Malaikat yang taat, dan setan yang durhaka menjadi Muwahhid.

Ya’qub, putra-putranya, dan istrinya, bersujud di hadapan keagungan Yusuf, seperti disebutkan dalam Al-Quran:

“Dan ia menaikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) nierebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf Dan berkata Yusuf : ‘Wahai ayahku, inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suam kenyataan …” [Surat Yusuf, ayat 100]

Al-Quran menyebutkan mimpi Yusuf di masa kecilnya dengan firman-Nya :

“(Ingatlah) ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: ‘Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas buah bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku. ” [Surat Yusuf, ayat 4.]

Dengan mengikuti pemimpin para Muwahhidin, yakni Nabi, kaum Muslimin mencium dan mengusap-usap Hajar al-Aswad. Perbuatan ini memang mirip dengan yang dilakukan oleh para penyembah berhala terhadap berhala-berhala mereka, namun perbuatan kita merupakan esensi dari tauhid, sedang perbuatan mereka merupakan esensi dari kemusyrikan.

Dengan demikian, inti ‘ibadah’ bukanlah pada penampakan perendahan diri dan ketundukan yang absolut. Keduanya memang benar termasuk tiang-tiang dan unsur-unsurnya yang penting, namun rukun dan unsurnya tidak terbatas hanya kepada dua hal itu saja, tapi harus ditambahkan bahwa ketundukan dan perendahan diri itu harus disertai dengan keyakinan tertentu. Keyakinan itulah yang menjadikan ketundukkan dan perendahan diri disebut sebagai ibadah.

Dengan kata lain, keyakinan-lah yang dapat memberi warna pada perbuatan tertentu. Tanpa itu, perbuatan tidak akan memiliki warna ibadah. Unsur inilah yang kini akan kami bahas.


Berikut ini tiga definisi logis untuk ibadah:


Definisi Pertama:

Ibadah adalah ketundukkan, baik dalam perbuatan atau perkataan, yang bersumber dari keyakinan bahwa yang ditundukinya adalah Tuhan.

Apakah arti Uluhiyah? Suatu permasalahan yang peka yang harus kita ketahui dengan teliti. Uluhiyah berarti ketuhanan.

Kata “Ilah” berarti Tuhan, bukan berarti “Ma’bud” (yang disembah). Namun, karena Ilah-Ilah buatan juga dijadikan sesembahan oleh umat di dunia, maka penafsiran paling populer bagi kata Ilah, adalah mengartikannya dengan Ma’bud. [2]

Adapun bukti yang jelas untuk hal tersebut di atas ialah ayat-ayat Al-Quran yang berkenaan dengan masalah ini, ketika memerintahkan ibadah kepada Allah, segera diiringi dengan kalimat yang menunjukkan bahwa tiada Tuhan kecuali Dia, seperti dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya Kamii telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: ‘Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia.’ ” (Al-A’raaf: 59)

Ayat semacam ini juga terdapat pada lebih dari 9 ayat lain yang bisa dilihat dalam Surat al-A’raf-. 65, 73, 59; Surat Hud: 5, 61, 84 Surat Al-Anbiya’:25; Surat al-Mukminun: 23, 32; dan Surat Thaha: 14.

Ayat-ayat itu menunjukkan bahwa, ibadah adalah tunduk dan merendahkan diri yang bersumber dari keyakinan ke-Tuhanan, dan tanpa keyakinan itu tidak dapat dinamakan ibadah.

Ayat-ayat berikut juga membuktikan kebenaran tersebut di atas:

“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: Laa ilaaha illallaah (tiada Tuhan melainkan Allah), mereka menyombongkan diri…” [Surat Ash-Shaffat, ayat 35]

Yaitu mereka tidak memperhatikan perkataan itu dikarenakan mereka meyakini ketuhanan selainnya.

“Ataukah mereka mempunyai tuhan selain Allah? Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. [Surat Thuur, ayat 43, begitu juga ke Surat At-Taubah, ayat 43, dan An-Nahl, ayat 63.]

Dalam ayat ini keyakinan kepada ketuhananlah yang dijadikan sebagai patokan bagi kesyirikan :

“…..orang-orang yang menganggap ada tuhan lain di samping Allah, maka mereka kelak akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” [Surat Al-Hijr, ayat 96.]

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah…..” [Surat Al-Furqan, ayat 68].

Ayat-ayat berikut, membuktikan bahwa kaum musyrikin meyakini ketuhanan berhala-berhala mereka :

“Dan mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung bagi mereka.” [Surat Maryam, ayat 80.]

“….Apakah sesungguhnya kamu mengkui bahwa ada tuhan- tuhan yang lain disampingAllah?….” [Surat Al An’am, ayat 19.]

“Ketika Ibrahim berkata kepada (pamannya) : Apakah engkau menjadikan patung sebagai tuhan-tuhan?” [Surat Al-An’am, ayat 74.]

Dengan menelaah ayat-ayat yang berkenaan dengan syirik-nya kaum penyembah berhala, akan tampak bahwa kesyirikan mereka disebabkan oleh keyakinan kepada adanya sifat-sifat ke-Tuhan-an pada sesembahan mereka. Mereka meyakini, bahwa meksipun berhala-berhala itu adalah makhluk, namun mampu melakukan perbuatan-perbuatan Tuhan yang agung, dan karena keyakinan itulah maka mereka menyembahnya.

Keyakinan inilah yang menjadikan mereka ingkar ketika diseru kepada Tuhan Yang Esa, dan ketika Tuhan disekutukan mereka beriman, seperti yang disebut dalam ayat di bawah:

“Itu dikarenakan apabila Allah dipuja sendiri kalian kufur dan apabila Ia disekutukan maka kalian beriman, pemerintahan adalah milik Allah yang Maha Tinggi dan Maha Besar” (Ghafir : 12)

Almarhum Allamah Muhammad Jawad Balaghi dalam tafsirnya yang berharga, Ala-ar-Rahman, mendefinisikan ibadah sebagai berikut:

“Ibadah ialah sesuatu yang menerangkan rasa tunduk seseorang kepada sesuatu yang ia jadikan sebagai Tuhan, yang karenanya ia ingin memenuhi haknya sebagai Tuhan” [3]

Definisi di atas, yang kebenarannya juga didukung oleh ayat-ayat tersebut, merupakan perwujudan dari pemahaman naluri almarhum Allamah Balaghi dalam bentuk kalimat.

Ayatullah al-Udzma Khomeini dalam bukunya yang berharga, juga memilih pendapat ini. Beliau berkata :

“Ibadah atau penyembahan, adalah memuja sesuatu dengan anggapan bahwa ia adalah Tuhan, baik Tuhan besar atau tuhan kecil” [4]

Bukti yang paling jelas untuk pendapat ini ialah ayat-ayat yang menentang syirik, yang menunjukkan bahwa kelompok musyrikin seluruhnya tunduk dan memuja sesuatu berdasarkan anggapan bahwa ia adalah tuhan (baik tuhan kecil maupun tuhan besar), dan karena itu mereka merendahkan diri di hadapannya.

Kunci bagi definisi pertama ialah, bahwa kata-kata Ilah berarti Tuhan, dan bukan berarti Ma’bud. Hal ini dapat kita jelaskan melalui ayat-ayat Al-Quran, yakni bahwa sifat ketuhanan cukup apabila si penyembah meyakini bahwa sesuatu yang dihadapannya memiliki sebagian perbuatan Tuhan, Sang Pencipta. Meski ia adalah makhluk, namun kepadanya telah diserahkan beberapa perbuatan Tuhan, sebagaimana anggapan orang-orang Arab Jahiliyah terhadap berhala-berhala mereka.


Definisi kedua:

Ibadah ialah: Tunduk di hadapan sesuatu yang ia anggap sebagai “Rabb”. Yakni, ibadah ialah rasa tunduk yang ditampakkan, baik dalam perkataan atau perbuatan, yang bersumber dari keyakinan bahwa sesuatu yang kepadanya diberikan ketundukkan itu adalah Rabb.

Kata Rabb lawannya ialah ‘Abd Jadi orang beranggapan bahwa dirinya adalah ‘Abd (hamba), dan yang dihadapi adalah Rabb-nya, lalu atas dasar itu ia tunduk kepadanya, maka perbuatannya tergolong ibadah.

Dari ayat-ayat berikut tampak bahwa ibadah berkaitan dengan Rabb

“Al-Masih’ berkata: ‘Wahai bani Israil! Sembahlah Allah, Rabb-ku dan Rabb kalian” [Surat AI-An’arn, ayat 102.]

“Sesungguhnya Allah, Rabb-ku dan Rabb-kalian, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus”. [ Surat Ali Imran, ayat 51.]

“(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah, Rabb (Tuhan) kalian; tidak ada tuhan selain Dia; Pencipta Segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.” [ Surat AI-An’am, ayat 102.]


Maksud Kata Rabb

Dalam bahasa Arab, kata rabb digunakan untuk seseorang yang mana pengaturan sesuatu dan nasibnya ada dalam kekuasaannya. Pemilik rumah, orangtua, dan petani pemilik sawah, dikatakan rabb karena pengaturan serta nasib mereka berada ditangannya.

Begitu pula kita menyebut Tuhan dengan Rabb karena semua nasib semua urusan kita dari wujud dan keberadaan kita, hidup dan mati serta rezeki kita, dan begitu juga hak membuat undang-undang dan syari’at serta memberi ampun, berada di tangan-Nya.

Maka jika ada orang yang membayangkan bahwa salah satu dari urusan yang berkaitan dengan nasib kita berada ditangan orang lain, misalnya keyakinan bahwa Allah menyerahkan urusan hidup dan mati serta rezki kita, atau menyerahkan urusan pembuatan undang-undang dan pengampunan kepada orang lain, dan meyakini bahwa orang itu dapat menanggung semua urusan di atas secara bebas (tanpa ketergantungan), maka berarti ia telah menganggap orang itu rabb dalam kedudukan yang sama dengan Tuhan. Dan apabila dengan anggapan tersebut ia kemudian tunduk di hadapannya, maka berarti ia telah menyembahnya.

Dengan kata lain, ibadah bersumber dari perasaan kehambaan, dan perasaan ini terwujudkan ketika seseorang meyakini bahwa dirinya dimiliki. Sedang orang yang dianggap lebih tinggi darinya, diyakini memiliki (menguasai) memiliki wujud, hidup dan mati serta rezki, atau paling tidak memiliki hak dan berkuasa dalam urusan pengampunan [Surat Ali Imran, ayat 135] dan syafaat” [Surat Az-Zumar ayat 44] serta penentuan undang-undang [Surat At-Taubah, ayat 31], maka berarti ia telah menjadikan orang itu sebagai rabb.

Apabila kemudian, perasaan ini ia nyatakan dalam bentuk perkataan atau perbuatan di luar maka berarti ia telah beribadah dan menyembah orang tersebut.


Definisi Ketiga:

Pemahaman kita mengenai ibadah dapat pula dinyatakan dalam definisi ketiga, yaitu:

Ibadah: Tunduk di hadapan sesuatu yang ia anggap sebagai Tuhan atau sumber perbuatan-perbuatan Tuhan. Pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan masalah dunia seperti pengaturan masalah dunia, menghidupkan dan mematikan orang, memberi rezeki kepada makhluk-makhluk hidup, dan mengampuni dosa-dosa hamba, semuanya dimiliki oleh Allah. Apabila kita menelaah ayat-ayat [Surat AI-Qashash, ayat 73; Surat An-Naml, ayat 60-64; Surat Az- Zumar, ayat 5 dan 6.] yang berhubungan dengan masalah-masalah tersebut, kita akan mengetahui bagaimana Al-Quran menyatakan semua itu sebagai milik Allah, dan dengan keras mencegah penisbahannya kepada selain-Nya. Ini dari satu sisi.

Dari sisi lain, kita mengetahui bahwa dunia penciptaan ini merupakan dunia yang teratur dan sistematis, hingga tidak ada sesuatupun yang terjadi tanpa sebab-sebab, yang kesemuanya kembali kepada Allah, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Quran dalam ayat-ayat yang menyebut sebab perbuatan-perbuatan tertentu, seolah-olah dilakukan oleh selain Allah, akan tetapi hal itu sebenarnya tetap dengan perintah-Nya.

Contohnya, Al-Quran, dengan penegasan khusus, menerangkan bahwa yang menghidupkan dan mematikan adalah Allah, seperti dalam firman-Nya:

“Dan Dia-lah yang Menghidupkan dan Mematikan, dan Dialah yang (mengatur) pertukaran malam dan siang…” [Surat Mu’minun, ayat 80]

Namun, di tempat lain, Quran pulalah yang menerangkan bahwa malaikat mematikan. seperti dalam firman-Nya:

“… sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antaramu, ia diwafatkan oleh Malaikat-Malaikat Kami, dan Malaikat-Malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. [Surat Al-An’am, ayat 61.]

Dalam mengumpulkan dua masalah tersebut, kita katakan bahwa sebab-sebab alami, baik yang material maupun non-material, misalnya Malaikat, hanya dapat berfungsi sebagai sebab dan pelaku perbuatan adalah karena perintah Allah, sedang Allah adalah pelaku yang bebas. Dengan kata lain, kedua pelaku ini berada pada garis horizontal, yang satu adalah pelaku yang bebas dari yang lain, dan yang satunya lagi adalah pelaku yang hanya berfungsi dengan mengikuti pelaku yang pertama. Inilah salah satu pengetahuan-pengetahuan tinggi yang dikandung Al-Quran. Kini, apabila ada orang yang beranggapan bahwa pekerjaan-pekerjaan ini telah diserahkan kepada Malaikat atau kepada para wali, dengan kondisi terlepas dari Tuhan, lalu atas dasar itu ia tunduk di hadapan mereka, maka pasti tunduknya adalah ibadah, dan perbuatannya itu menyebabkan ia syirik dalam ibadah.

Sekali lagi ia meyakini bahwa Allah telah menyerahkan pelaksanaan perbuatan-perbuatan tersebut kepada mereka sehingga mereka mampu melakukannya dengan terlepas dari kehendak-Nya, maka ia telah menjadikan mereka sama dengan dan sebagai tandingan Allah SWT. Atas dasar keyakinan yang demikian, maka perbuatannya tergolong sebagai ibadah dan penyembahan kepada mereka, seperti dalam firman Allah :

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah selain Allah sebagai tandingan-tandingan selain Allah-mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah” [ Surat Al-Baqarah ayat 165. ]

Suatu wujud dikatakan sebagai serupa dan tandingan Tuhan, jika ia mampu melakukan suatu perbuatan atau beberapa perbuatan dengan bebas dan kekuasaan penuh. Adapun jika mampu melakukannya hanya atas perintah dan izin dari-Nya, maka tidak saja ia bukan tandingan atau menyerupai Tuhan, melainkan suatu makhluk yang tunduk kepada perintahNya.

Kaum musyrikin pada masa Rasul, juga menganggap bahwa berhala sesembahan mereka memiliki kedaulatan dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan Ilahi.

Pada masa tersebut, syirik paling ringan adalah dengan meyakini bahwa hak pembuatan undang-undang dan syari’at telah diserahkan kepada pendeta-pendeta dan paderi-paderi mereka [Surat At-Taubah, ayat 36], atau bahwa berhala-berhala dan sesembahan mereka telah diserahi hak untuk memberi pengampunan dan syafa’at, yang merupakan hak khusus bagi Allah. Oleh karenanya, ayat-ayat yang berkenaan dengan syafa’at selalu menegaskan bahwa tiada seorangpun yang dapat memberikan syafaat kecuali dengan izin Allah [ Surat Al-Baqarah, ayat 255]. Seandainya mereka meyakini bahwa berhala-berhala itu dapat memberikan syafa’at hanya atas izin-Nya, maka tidak diperlukan penegasan untuk menafikan syafaat yang tanpa izin Allah.

Sekelompok filosof Yunani meyakini adanya banyak tuhan bagi segala urusan dunia, dan bahwa pengaturannya berada ditangan masing-masing tuhan tersebut. Begitu pula kelompok Arab Jahiliyah yang menyembah Malaikat dan bintang-bintang yang diam dan bergerak, karena mereka beranggapan bahwa pengaturan dunia telah diserahkan kepada mereka, dan Allah sama sekali terlepas dari kedudukannya untuk mengatur. Oleh sebab itu, setiap penampakkan ketundukan yang menggambarkan keyakinan ini tergolong sebagai ibadah dan penyembahan kepada berhala-berhala itu. [5]

Kelompok lain dari Arab Jahiliyah, meski mereka tidak meyakini bahwa berhala-berhala sesembahan mereka sebagai pencipta atau pengatur dunia, namun mereka beranggapan bahwa berhala-berhala tersebut memiliki kedudukan sebagai pemberi syafaat, seperti perkataan mereka yang disebut dalam Al-Quran:

“Mereka adalah pemberi syafa’at kita di sisi Allah” [Surat Yunus, ayat 18.]

Dengan anggapan yang salah ini mereka menyembah berhala-berhala itu, dan mengatakan bahwa mereka yang menyebabkan mereka menjadi dekat dengan Allah :

“Kami tidak menyembah mereka kecuali supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah” [ Surat Az-Zumar, ayat 3.]

Ringkasnya, segala perbuatan yang menggambarkan rasa tunduk yang bersumber dari keyakinan yang demikian adalah ibadah, dan sebaliknya, rasa tunduk, penghormatan dan pengagungan yang tidak berasal dari keyakinan seperti itu tidak tergolong ibadah atau syirik dalam ibadah.

Sujudnya orang yang jatuh cinta di hadapan kekasihnya, petugas di hadapan pemimpin, istri untuk suaminya dan lain-lain yang serupa, meskipun hal itu terlarang menurut agama Islam yang suci, karena tak seorang pun diperkenankan untuk melakukan perbuatan yang mempunyai bentuk ibadah di hadapan siapapun kecuali dengan perintah dan izin Allah, namun pekerjaan itu tetap bukan tergolong ibadah.


Kesimpulan

Kesimpulan dari keterangan mengenai hakikat ibadah ialah: jika seseorang menampakkan rasa tunduk dan rendah hati dihadapan sesuatu, namun perbuatan itu tidak berasal dari keyakinan bahwa ia adalah Tuhan atau Rabb atau sebagai sumber pekerjaan-pekerjaan Allah, melainkan berasal dari keinginan untuk menghormati karena mereka adalah :

“Hamba-hamba Allah yang mulia, tidak mendahului-Nya dalam perkataan, dan mereka melaksanakan perintah-Nya,” [Surat Al-Anbiya’ ayat 27.]

maka perbuatannya tidaklah lebih dari sekadar penghormatan dan pengagungan. Pensifatan Allah kepada sebagian hamba-hamba-Nya dapat menarik keinginan setiap orang untuk menghormati mereka, seperti firman-Nya:

“Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran, melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing). , [Surat Ali ‘Imran, ayat 33.]

Allah juga telah memilih Ibrahim as, untuk menduduki maqam kepemimpinan, yaitu dengan firman-Nya:

“Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau sebagai Imam bagi seluruh manusia.” [Surat Al-Baqarah, ayat 124]

Allah telah mensifati Nabi Nuh, Ibrahim, Daud, Sulaiman, Musa, Isa dan Nabi Muhammad saw, dengan serangkaian sifat-sifat agung yang dapat menarik hati dan merasuk ke kalbu, bahkan juga mewajibkan kecintaan kita kepada sebagian orang. [Surat Asy-Syuura, ayat 23]

Jika pada masa hidup atau sepeninggal mereka, orang-orang dengan tidak menganggap mereka sebagai Tuhan atau sumber perbuatan-perbuatan Tuhan, datang untuk menunjukkan rasa hormat mereka, perbuatan yang demikian itu tidak akan dianggap sebagai ibadah oleh siapapun juga di atas bumi ini.

Sebagaimana kita ketahui, dengan mengikuti pemimpin segenap manusia pada musim haji, kita mengusap-usap atau mencium Hajar al-Aswad yang tidak lebih dari batu hitam, mengitari rumah Tuhan yang terbuat dari lumpur dan batu, melakukan sa’i diantara Shafa dan Marwa, maka pada dasarnya kita melakukan perbuatan yang juga diperbuat oleh kaum penyembah berhala terhadap sesembahan mereka. Namun demikian, tidak pernah terpikir di benak seseorang, bahwa kita menyembah batu dan lumpur, sebab sama sekali kita tidak pernah beranggapan bahwa batu dan lumpur tersebut dapat menguntungkan atau merugikan kita. Akan tetapi jika perbuatan tadi kita lakukan karena keyakinan kita bahwa batu, lumpur dan gunung adalah Tuhan, atau merupakan sumber pekerjaan-pekerjaan Tuhan, maka kita akan berada dalam deretan penyembah berhala.

Dengan demikian, mencium tangan Nabi, Imam, ustad, guru, ayah, dan ibu, atau mencium Quran dan buku-buku agama, makam, dan segala yang berkaitan dengan hamba-hamba Allah yang mulia, hanyalah sekadar suatu pengagungan dan penghormatan, selama tidak disertai dengan keyakinan bahwa mereka adalah Tuhan atau Rabb. Sebagaimana telah kami sebutkan, Al-Quran menceritakan sujudnya para Malaikat kepada Adam, dan sujudnya saudara-saudara Yusuf kepada yusuf. [6]

Toh tidak pernah terpikirkan oleh seseorang bahwa perbuatan para Malaikat dan saudara-saudara Yusuf itu adalah beribadah kepada Adam atau penyembahan kepada Yusuf, sebab mereka yang sujud itu tidak meyakini bahwa yang di hadapan mereka mempunyai sifat uluhiyah atau ubudiyah sedikitpun. Mereka berbuat tanpa keyakinan bahwa Adam atau Yusuf adalah Tuhan atau sumber perbuatan-perbuatan Tuhan, dan karenanya pekerjaan mereka hanyalah suatu bentuk pengagungan dan penghormatan.

Orang-orang Wahabi ketika dihadapkan kepada ayat-ayat tersebut, segera mengatakan, bahwa mereka melakukan perbuatan itu atas perintah dari Allah SWT.

Benar, bahwa perbuatan mereka adalah atas perintah dari Allah, namun mereka lupa pada kenyataan, bahwa esensi perbuatan mereka tentu juga bukan ibadah, karena Allah memerintahkannya. Apabila perbuatan itu tergolong ibadah, niscaya Allah tidak akan memerintahkannya, sebab Allah berfirman :

“Katakanlah: Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji, Mengapa kalian menggda-adakan terhadap Allah sesuatu yang kalian tidak tahu ?” [Surat Al-A’raaf, ayat 28.]

Menghadapi jawaban seperti tersebut di atas, mereka kemudian berkata:

“Perintah Allah tidaklah mengubah esensi suatu perbuatan. Dan sungguh aneh bahwa suatu perbuatan yang dari asalnya merupakan ibadah, namun karena Allah memerintahkan dilakukannya hal tersebut terhadap seseorang, maka serta merta ia keluar dari katagori ibadah.”

Jawaban yang demikian, yang sering kita dengar dari guru-guru Wahabi di Madinah dan Makkah, menunjukkan kedangkalan mereka dalam menganalisa pengetahuan-pengetahuan al-Qur’an.

Mereka tidak mengerti bahwa ibadah memiliki esensi dan pengertian tersendiri, kadang kala diperintahkan kadang pula dilarang. Sebagai contoh adalah shalat dan puasa yang sudah jelas tergolong ibadah dan melakukannya diperintahkan oleh Allah. Namun demikian, toh Allah melarang orang berpuasa, misalnya puasa pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Analog dengan hal tersebut adalah, apabila sujudnya para malaikat dan saudara-saudara Yusuf sejak semula memang tergolong ibadah, maka perintah melaksanakannya tidak dapat mengeluarkan batasan dan pengertiannya yang pertama. Karena pada kenyataannya Allah rnernerintahkan hal tersebut, dan tidak mencelanya, maka yang benar adalah: sujudnya para malaikat dan saudara-saudara Yusuf itu memang sejak semula bukan tergolong ibadah. Dengan pengertian ini maka hal itu tidaklah aneh dan mengherankan, sebagaimana dituduhkan oleh kelompok Wahabi.


Pemecahan Perbedaan

Para pembaca perlu memperhatikan, bahwa suatu yang dapat Menyudahi perbedaan pendapat antara kita dengan kaum Wahabi dalam banyak hal, terletak pada masalah definisi ibadah. Selama ibadah belum didefinisikan secara logis dan kita belum bersepakat mengenai definisinya, maka segala macam pembahasan dan diskusi tidak akan membuahkan sesuatu.

Orang yang akan melibatkan diri dalam masalah ini pun hendaknya lebih banyak mendalami, belajar dengan meneliti, agar tidak tertipu oleh definisi-definisi ahli bahasa yang pada umumnya hanya menerangkan arti kata secara global, bukan memberikan definisi yang mantap. Dalam hal ini, rujukan terbaik dan paling aman tentunya adalah al-Quran yang merupakan penuntun bagi kita.

Tapi sayangnya, para penulis Wahabi dan mereka yang menulis kritikan terhadap mereka, lebih banyak mementingkan masalah-masalah yang sifatnya sampingan daripada membahasnya berdasar pada ayat-ayat Al-Quran.

Kaum Wahabi mengatakan, bahwa kaum Muslimin banyak melakukan. perbuatan-perbuatan yang berkenaan dengan Rasulullah dan Imam-imam serta para wali yang semuanya merupakan ibadah kepada mereka. Kasarnya, dengan perkataan itu mereka menganggap kaum Muslimin yang berbuat demikian, telah melakukan perbuatan syirik dalam ibadah.

Tapi, dengan memberikan penjelasan-penjelasan yang mendetail tentang ibadah, kita bisa melucuti mereka dari senjatanya, dan menolak ucapan mereka itu.

Untuk menjelaskan maksud kami, kini kami sebutkan beberapa contoh perbuatan yang dianggap oleh kaum Wahabi sebagai ibadah dan penyembahan kepada yang bersangkutan. Padahal, sebenarnya tidak selalu demikian, meskipun memang, kadang-kadang bisa berarti sebagai ibadah kepada yang bersangkutan, namun bisa juga sama sekali tidak berarti sebagai beribadah kepadanya.

Beberapa hal tersebut adalah:

1. Memohon syafaat dari Nabi dan orang-orang saleh.

2. Memohon kesembuhan dari para wali.

3. Memohon hajat dari pemimpin-pemimpin agama.

4. Mengagungkan dan menghormati pemilik kubur.

5. Meminta bantuan dari Rasul yang mulia dan dari selainnya.

Mereka berkata: “Syafaat adalah pekerjaan Tuhan, berdasarkan pada ayat yang mengatakan : Katakanlah: ‘Semua syafa’at adalah milik Allah’, begitu pula hak penyembahan, juga merupakan perbuatan Allah seperti firman-Nya: “Dan jika aku sakit, maka Ia lah yang menyembuhkanku”. Sedang memohon perbuatan Tuhan dari selain-Nya, berarti beribadah kepada selain Allah.

Sampai di sini, kita terlebih dahulu harus menafsirkan: apakah yang dimaksud dengan “pekerjaan Allah”? Jawabnya ialah : semua perbuatan (di antaranya, memberi syafaat dan menyembuhkan orang sakit) yang untuk melaksanakannya, si pelaku tidak tergantung kepada wujud lain, serta tidak memerlukan kekuasaan dan kemampuan wujud yang lebih tinggi darinya. Itulah yang dimaksud dengan pekerjaan Allah”.

Memohon perbuatan dari siapa saja, disertai dengan pengakuan kepada uluhiyah dan rububiyah yang bersangkutan, memang tergolong sebagai penyembahan dan syirik. Akan tetapi, permohonan syafa’at dan kesembuhan yang tidak disertai keyakinan semacam itu, melainkan hanya menganggap si pelaku sebagai hamba Allah yang dalam melakukan perbuatannya bersandar kepada dzat yang lebih tinggi, yang hanya dengan kehendaknya perbuatan tersebut bisa terjadi (yakni Allah), maka tidak tergolong sebagai memohon sesuatu kepada selain Allah .

Hal yang sama juga berlaku dalam semua hal yang berhubungan dengan meminta hajat dan bantuan dari selain Allah. Keterangan ini tidak hanya merupakan pemisah antara ibadah dan yang bukan ibadah. Sekaligus juga sebagai patokan yang memisahkan antara anggapan yang dapat menyebabkan kemusyrikan, dan yang tidak.

Jika kita meyakini bahwa pengaruh obat anti biotik adalah membinasakan mikroba dan menurunkan panas, yang keberadaannya atau pengaruh dan fungsinya terlepas dan tidak bergantung kepada Allah, maka berarti kita telah menganggapnya sebagai tuhan kecil, yang dalam melakukan perbuatan-perbuatannya dapat mandiri. Lalu, jika dengan kebodohan, kita meagagungkan dan menjadikannya seperti Tuhan, maka perbuatan kita tergolong sebagai menyembah kepada obat itu. Akan tetapi, jika kita memandangnya sebagai wujud yang keberadaan, pengaruh dan fungsinya, sepenuhnya bergantung kepada maqam yang lebih tinggi, yakni Allah, dan tanpa kehendak-Nya obat itu tidak akan ada dan tidak berguna sama sekah, maka keyakinan yang demikian merupakan hakikat dari tauhid.

Seperti telah kami sebutkan pemecahan perselisihan antara kita dengan kaum Wahabi, dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan tauhid dan syirik, berkaitan erat dengan definisi ibadah dan wawasan tentang arti uluhiyah dan rububiyah, serta dalam membedakan hal-hal yang merupakan pekerjaan Allah dan yang bukan.

Keterangan di atas adalah keterangan yang singkat. Bagi yang ingin. memperdalam, kiranya dapat mempelajari dan lebih meneliti “Ma’alim at-Tauhid dan Tauhid wa asy-Syirk fi Al- Quran”.[kajianislam]


Catatan Kaki:

[1] Dalam al-Quran terkadang juga digunakan dengan arti demikian, seperti dalam ayat “….Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil.” (Asy-Syu’ara:22)

[2] Sifat Tuhan bagi berhala-berhala bukan berarti mereka dengan sendirinya juga bisa mencipta atau mengatur dunia manusia. Bila kita menyakini bahwa wujud tertentu telah diserahi pekerjaan-pekerjaan Tuhan, misalnya memberi Syafaat dan ampunan, berarti kita telah menganggapnya sebagai tuhan, meskipun hanya sebagai tuhan kecil dibanding Tuhan yang Maha Besar.!

[3] Ala’ ar-Rahman, jilid 1, hat. 57, cetakan Sidon.

[4] Kasyf-Asrar, hal. 29.

[5] Al-Milal wa Nilial., jilid ll, hal. 244

[6] Surat Al-Baqarah, ayat 34, dan Surat Yusuf, ayat 100.

Tulisan/Artikel diatas dinukil dari buku terjemahan karya asy-Syaikh Jakfar Subhani “Tawasul, Tabaruk, Ziarah Kubur, Karamah Wali” Penerbit “Pustaka Hidayah” hal: 103-118